Menteri Kebudayaan (Menbud) RI, Fadli Zon, mewakili Presiden RI, Prabowo Subianto, secara resmi membuka Pameran 200 Tahun Perang Jawa di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Minggu (20/7/2025). (Foto: Humas Kementerian Kebudayaan)
“Kalau nama orang-orang yang memenjarakannya telah hilang sama sekali dari ingatan manusia, nama Diponegoro akan hidup terus,” demikian kata-kata Presiden pertama RI Soekarno dalam peringatan 100 tahun wafatnya Diponegoro pada 1955.
Pernyataan Bung Karno tersebut benar adanya. Hingga kini, Pangeran Diponegoro tak pernah “mati”. Namanya terus hidup dalam ingatan kolektif bangsa, diabadikan menjadi nama jalan, gedung, hingga lembaga pendidikan.
Pangeran Diponegoro yang merupakan pemimpin Perang Jawa, itu terlahir dengan nama kecil Bendara Raden Mas Mustahar pada 11 November 1985. Terlahir di lingkungan Keraton Yogyakarta, Diponegoro merupakan anak dari Sri Sultan Hamengkubuwono III dan ibunya bernama Mangkarawati, selir Sri Sultan Hamengkubuwono yang berasal dari Pacitan.
Perang Jawa atau yang dikenal dengan Perang Diponegoro terjadi 200 tahun lalu, disebut-sebut sebagai peristiwa heroik. Perang itu menjadi bukti perlawanan kaum pribumi terhadap kesewenang-wenangan kaum kolonial.
Dengan menggunakan taktik gerilya yang memanfaatkan medan pegunungan dan hutan Jawa, Pangeran Diponegoro berhasil membuat pasukan Belanda kesulitan menangkapnya. Dukungan dari tokoh seperti Kyai Mojo, Sentot Prawirodirdjo, dan Kerto Pengalasan pun memperkuat perlawanan pada perang yang berlangsung pada 1825 hingga 1830 itu.
Perang Jawa tidak hanya meninggalkan jejak sejarah yang signifikan dalam perjuangan rakyat Indonesia, tetapi juga memberikan dampak besar bagi pemerintah kolonial Belanda, baik dari segi ekonomi, militer, maupun politik.
Perang Jawa mendapatkan dukungan kuat dari masyarakat. Tidak hanya di wilayah meletusnya perang yakni di Tegalreo, tetapi juga di luar Jawa.
Strategi “Benteng Stelsel” dengan membangun benteng-benteng, yang diterapkan Belanda pada 1827 mulai melemahkan pasukan Diponegoro, terutama setelah banyak pengikut Diponegoro ditangkap atau gugur.
Belanda kemudian mengadakan perundingan dengan Diponegoro pada 1830, tetapi perundingan ini berakhir dengan pengkhianatan Letnan Gubernur Jenderal Henrik Merkus de Kock. Pangeran Diponegoro ditangkap pada 28 Maret 1830 di Magelang dan diasingkan ke Manado, kemudian ke Makassar, hingga meninggal dunia pada 1855.
Kini, Menteri Kebudayaan (Menbud) RI, Fadli Zon, mewakili Presiden RI, Prabowo Subianto, secara resmi membuka Pameran 200 Tahun Perang Jawa di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Minggu (20/7/2025). Pada kesempatan tersebut, Menbud Fadli Zon menyampaikan Pidato Kebudayaan berjudul “Menemukan Jati Diri Bangsa Melalui Refleksi Perjuangan Pangeran Diponegoro”.
Pameran yang digelar hingga 20 Agustus 2025 mendatang ini diselenggarakan oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (Perpusnas) sebagai wujud nyata dalam membangun ingatan kolektif bangsa mengenai Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponogero pada tahun 1825-1830. Peringatan ini mengajak publik untuk mengenal dan mengapresiasi pemikiran, sikap, serta nilai-nilai suri teladan dari perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan penjajahan kolonial Belanda yang relevan dengan identitas Keindonesiaan.
Dalam pidatonya, Menbud Fadli menekankan pentingnya peringatan ini sebagai momentum refleksi terhadap peristiwa Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dalam perjuangan mempertahankan jati diri bangsa.
“Perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia tidak dibangun dalam sebuah kenyamanan, tetapi dalam perlawanan menentang penjajahan dan kolonialisme. Ia tumbuh dari sebuah semangat rela berkorban, cinta tanah air, keberanian, dan prinsip yang tak bisa dibeli atau ditundukkan, sebagaimana jati diri Pangeran Diponegoro,” kata Menbud Fadli.
Menbud Fadli menambahkan bahwa semangat perjuangan Pangeran Diponegoro menembus zaman dan menginspirasi lintas generasi hingga kini. “Keberanian dan keteguhannya dalam melawan penindasan kolonial menjadi inspirasi abadi bagi generasi-generasi berikutnya. Dalam pengorbanannya, kita menemukan makna tentang harga diri, prinsip, dan tekad yang tak tergoyahkan,” jelas dia.
Pada kesempatan ini, sebagai salah satu momentum peringatan 200 Tahun Perang Jawa, Menbud Fadli juga menyampaikan rencana Kementerian Kebudayaan yang akan menyelenggarakan sebuah pameran lukisan bertajuk “NYALA: 200 Tahun Perang Diponegoro” yang akan diselenggarakan pada Senin (21/7/2025) di Galeri Nasional Indonesia.
Rangkaian peringatan “200 Tahun Perang Jawa” akan dilaksanakan mulai 20 Juli-20 Agustus 2025 dengan berbagai macam kegiatan, antara lain Pertunjukan Teater Diponegoro; Pemutaran dan Diskusi Film serta Lokakarya Kaligrafi Aksara Pegon; Bedah Buku “Babad Diponegoro” yang telah diakui UNESCO sebagai Memory of the World; “Sketsa Perang Jawa” Karya Raden Ario Joyodiningrat; Lokakarya “Jamu Diponegoro: Tradisi, Ketahanan, dan Perlawanan”; Gelar Wicara “Demi Martabat Bangsa: Refleksi Perang Jawa Bagi Indonesia Maju”; dan Bedah Buku “Babad Kedhung Kebo”.
Menutup pidatonya, Menbud Fadli mengajak generasi muda Indonesia untuk terus memperdalam literasi sejarah. Sejarah bukan sebatas catatan peristiwa namun sebuah cermin jati diri, penunjuk arah, dan fondasi moral dalam menghadapi tantangan zaman, khususnya di tengah arus globalisasi yang semakin pesat.
“Mari kita jadikan warisan sejarah ini sebagai sumber kekuatan untuk membangun masa depan Indonesia yang lebih adil, beradab, dan berkarakter dengan menjunjung tinggi nilai-nilai luhur bangsa dan merawat kebudayaan sebagai ruh kebangsaan,” tutup Menbud yang dilanjutkan dengan pemotongan pita bersama para pejabat yang hadir sebagai simbol pembukaan pameran 200 Tahun Perang Jawa sekaligus rangkaian kegiatan yang akan berlangsung selama 1 bulan ke depan.
Hadir dalam pembukaan, Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana; Staf Ahli Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Indra Gunawan; Sekretaris Utama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Ernadhi; Kepada Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikdasmen, Hafidz Muksin.
Kemudian, Deputi Bidang Koordinasi Penguatan Karakter dan Jati Diri Bangsa Kemenko PMK, Warsito; Direktur Jenderal Pemeriksaan Keuangan Negara III BPK, Dede Soekarjo; Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu Kementerian Agama, I Nengah Duija; Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia Periode 1993-1998, Wardiman Djojonegoro; serta para Duta Besar negara sahabat, para tokoh literasi, peneliti manuskrip, dan pustakawan.
Peringatan “200 Tahun Perang Jawa” diharapkan tidak hanya menjadi momen refleksi atas perjuangan Pangeran Diponegoro, tetapi juga menjadi medium untuk menanamkan kembali nilai-nilai kebangsaan, keberanian, dan keteladanan kepada generasi masa kini. Melalui literasi sejarah dan pemanfaatan koleksi budaya, upaya ini juga menjadi komitmen bersama dalam menjadikannya sebagai pijakan penting guna memperkuat identitas nasional sekaligus memperluas diplomasi budaya Indonesia di tingkat global.
(***)